Bismillah...
Senin, 5 September 2016. Tidak ada upacara di SMA Teladan. Wali kelas menyampaikan wejangannya kepada murid di kelas masing-masing. Hari itu, entah mengapa aku cukup tersentuh mendengar 'ceramah' seorang guru fisika yang saya hormati, Pak Saebani. Sebenarnya aku menyesal tak mencatat atau paling tidak merekam petuah berharga dari beliau saat itu. Dan akhirnya, aku tulis seingatku saja. Maaf kalau ternyata sudah berbeda dari asli ya.
"Untuk apa kita hidup?" itu salah satu ide yang kutangkap dari beliau. "Kalau dipikir-pikir, kita hidup hanya sebentar saja," beliau melanjutkan, "kapan, sih, kita mulai 'sadar' hidup?" lalu aku lupa lanjutannya :v
Intinya, beliau menekankan kalau waktu kita hidup di dunia itu sunguh benar-benar really really singkat. Sepertinya baru kemarin kita bisa berfikir dan mengingat sesuatu. Kemudian kita belajar di sekolah. Dan mungkin besok atau kapan, yang jelas kita semua bakal kembali. Beliau juga memberi pesan kepada kita, muridnya, untuk mengingat kembali tujuan kita diciptakan.
Yah, wejangan beliau yang panjang itu membuatku berfikir, "untuk apa kita diciptakan?" lalu, "Berapa lama waktu kita hidup di dunia, jika dibandingkan dengan akhirat?" kemudian, "Sudah siapkah kita, jika 'dipanggil' sekarang?"
Well, kegiatan sekolah berlanjut seperti biasa hingga terdengar sebuah kabar... Kabar bahwa istri dari guru kimia favoritku meninggal dunia. Innalillahi wainna ilaihi raji'un. Ah, rasanya sedih bercampur bingung.
Aku pun mulai membayangkan, apabila seseorang yang sudah menemanimu membangun keluarga, mendidik anak-anak, menghibur hatimu, teman ngobrolmu, dan lain-lain pokoknya itu adalah seorang istri tercinta... meninggal dunia. Sedih.
Sedih memang, namun waktu aku takziyah (layat), wajah Pak Farid terlihat cukup tenang. Beliau masih sempat tersenyum dan mengangguk saat kusalami di rumah duka. [1]
-N
0 komentar:
Posting Komentar