Senin, 21 November 2016

Dibalik Hujan

Sore ini hujan lebat. Lalu kenapa? Baiklah...

Ini tentang hujan. Secara ajaib, ia memiliki suatu kekuatan. Rasanya, kalau sadar hujan mulai turun, kita jadi menghentikan aktivitas kita. Yah, nggak selalu sih. Dan ga setiap orang sih. He he.

Itu aku, yang kadang memang terdiam, untuk menikmati melodi tersembunyi dibalik nyanyian hujan. Tsaah. Pa an sih. Hujan memang memiliki kekuatan yang aneh! Kadang memunculkan memori yang menyibak tirai derasnya guyuran air. Kadang juga membantu melupakan kenangan yang tak diperlukan. Hanyut, larut, kemudian merembes atau mengalir di permukaan. Tak jarang, hujan menyisakan genangan-genangan di lubang (hati). Ha ha. Kurasa, yang aneh itu bukan hujan, tapi aku.

Yap, terlepas dari ke-gaje-an di atas, pernahkah kita semua berpikir? (Berpikir apa -_-)

Tentang hujan, bahwa ia tak hanya rintik air yang turun begitu saja. Ia adalah salah satu dari sekian banyak rahmatNya. Tak lupa doa yang Baginda Nabi ajarkan kepada kita:

"Allaahumma shayyiban naafi'an." Ya Allah jadikanlah hujan ini bermanfaat. [HR. Al-Bukhari]

Kosan sepi, 21 November 2016

Minggu, 13 November 2016

Semua Akan Kembali [2]

"Sesungguhnya setiap jiwa pasti akan merasakan kematian."

[QS. Ali Imran (3): 185]

Setelah menyolatkan jenazah istri Pak Farid, aku bergegas pulang. Aku minta tolong temanku Fauzan untuk mengantarkanku ke SMPIT ABY. Waktu itu aku disuruh menunggu adikku Amin dan nantinya kami akan pulang bareng Abi (=ayah, bro). Abi mau ke Bandung. Rencananya, setelah mengantar Amin ke rumah, aku mengantar  Abi ke Bandara Adisucipto.

Setelah salaman dengan Abi, pamitan, aku dimintai tolong untuk membelikan obat buat nenek yang sedang sakit. Resep obat itu seharusnya ada di rumah nenek di Celeban Baru. Abi entah lupa atau memang ga punya resepnya tuh ya.

Sesampainya di rumah nenek, kulihat beliau sedang terbaring lemah di atas dipan di ruang tengah. Nafasnya sesak dan sesekali terdengar seperti berbicara, tapi kurang jelas terdengar olehku kata-katanya. Tak lupa aku bertanya ke Bulik tentang resep obat nenek. Dijawabnya, entah waktu itu lupa atau hilang, pokoknya besok saja mencari obatnya di apotek yang resepnya bisa tanya dokter atau apotek, begitu seingatku. Hmm, baiklah.. kalau begitu aku pulang saja ke kosan. Aku pun pamit kepada Bulik dan mengendarai motor ke kosan.

Innalillahi wainna ilaihi raji'un.

Sekitar tengah malam ke dini hari, aku diSMS oleh Ummi (=ibu, bro). Ternyata malam itu kurang lebih pada pukul 21.30 WIB nenekku melanjutkan tidur menuju fase yang lebih panjang. Saat dimana ruh meninggalkan jasadnya di dunia.

Ya Allah, baru tadi malam aku melihatnya terbaring di atas kasur, lalu beberapa saat kemudian aku dapat kabar kalau nenek meninggal dunia.

Begitulah kematian, siapa yang tahu kapan datangnya? Karena itulah, siapa pun kita, bagaimana pun backround kita, kapan pun dan di mana pun itu, marilah kita mempersiapkan untuk 'waktu itu.' Pada dasarnya kita hanya menungu giliran saja. [2]

-N

Semua Akan Kembali [1]

Bismillah...

Senin, 5 September 2016. Tidak ada upacara di SMA Teladan. Wali kelas menyampaikan wejangannya kepada murid di kelas masing-masing. Hari itu, entah mengapa aku cukup tersentuh mendengar 'ceramah' seorang guru fisika yang saya hormati, Pak Saebani. Sebenarnya aku menyesal tak mencatat atau paling tidak merekam petuah berharga dari beliau saat itu. Dan akhirnya, aku tulis seingatku saja. Maaf kalau ternyata sudah berbeda dari asli ya.

"Untuk apa kita hidup?" itu salah satu ide yang kutangkap dari beliau. "Kalau dipikir-pikir, kita hidup hanya sebentar saja," beliau melanjutkan, "kapan, sih, kita mulai 'sadar' hidup?" lalu aku lupa lanjutannya :v

Intinya, beliau menekankan kalau waktu kita hidup di dunia itu sunguh benar-benar really really singkat. Sepertinya baru kemarin kita bisa berfikir dan mengingat sesuatu. Kemudian kita belajar di sekolah. Dan mungkin besok atau kapan, yang jelas kita semua bakal kembali. Beliau juga memberi pesan kepada kita, muridnya, untuk mengingat kembali tujuan kita diciptakan.

Yah, wejangan beliau yang panjang itu membuatku berfikir, "untuk apa kita diciptakan?" lalu, "Berapa lama waktu kita hidup di dunia, jika dibandingkan dengan akhirat?" kemudian, "Sudah siapkah kita, jika 'dipanggil' sekarang?"

Well, kegiatan sekolah berlanjut seperti biasa hingga terdengar sebuah kabar... Kabar bahwa istri dari guru kimia favoritku meninggal dunia. Innalillahi wainna ilaihi raji'un. Ah, rasanya sedih bercampur bingung.

Aku pun mulai membayangkan, apabila seseorang yang sudah menemanimu membangun keluarga, mendidik anak-anak, menghibur hatimu, teman ngobrolmu, dan lain-lain pokoknya itu adalah seorang istri tercinta... meninggal dunia. Sedih.

Sedih memang, namun waktu aku takziyah (layat), wajah Pak Farid terlihat cukup tenang. Beliau masih sempat tersenyum dan mengangguk saat kusalami di rumah duka. [1]

-N